Ini terjadi saat saya melakukan ibadah haji di Mekkah. Saat itu rombongan kami baru tiba pertama kali di Mekkah dan kami beserta rombongan menunaikan towaf yang pertama. Kami masih berpakaian ihrom. Ketika towaf selesai, saya tak sabar ingin ganti baju ihrom saya karena rasanya sudah panas banget. Saya mencoba pulang sendiri ke maktab. Tapi sudah dua jam berjalan kaki kok saya belum sampai di maktab. Bahkan pemandangan yang saya lihat tak seperti di maktab saya. Akhirnya aku menyadari kalau saya tersesat. Aku mulai mencari cari jalan arah pulang ke maktab. Nggak ketemu ketemu. Sampai akhirnya saya teringat kalau saya bawa kompas sendiri. Saya mulai melihat lihat arah jarum utara di kompas. Tapi saya nggak tahu saya berada didaerah mana. Saya mencoba memberanikan diri bertanya pada seseorang yang saya temui.. tentu saja dengan bahasa yang kami sendiri nggak paham. Orang arab itu melihat gelang yang saya pakai dan dia manggut manggut. Mungkin dia paham kalau saya tersesat dan ingin tahu arah jalan pulang. Kemudian orang arab itu membawa saya ke polisi mekah mungkin, saya kurang begitu tahu. Yang saya tahu di mekah apalagi dimasjidil haram, banyak orang arab yang berpakaian putih putih yang membawa semacam HT (handie talkie) di bahunya. Mungkin polisi, mungkin cuman pegawai atau petugas, aku kurang begitu paham. Kemudian petugas berpakaian putih putih itu menelepon seseorang dalam bahasa arab yang tak begitu kupahami. Saya denger denger ceritanya kalau ada seseorang haji yang tersesat, mereka menelepon dan mengantarkan ke maktabnya. Kemudian kami menunggu kedatangan mobil yang sedianya mau mengantar saya ke maktab.
Ketika sedang menunggu kedatangan mobil yang akan mengantar saya ke maktab saya di Jarwal Maisyir itu, tiba tiba terdengar suara adzan Ashar. Saya yang baru pertama kali naik haji ketika mendengar suara adzan itu saya berpikir, mau nunggu jemputan atau sholat. Kemudian saya putuskan untuk sholat saja di masjid. Saya kan baru pertama kali ke Mekah. Jadi saya merasa senang sekali kalau bisa sholat di Masjidil Haram. Jadi saya nggak perduli yang pada waktu itu saya sedang dalam posisi sebagai “anak hilang” saya tetap memilih untuk sholat saja di Masjidil Haram. Kemudian saya pamitan pada petugas berbaju putih itu. Petugas itu nampak heran ketika saya lebih memilih untuk sholat di masjid daripada pulang ke maktab, padahal saya waktu itu sedang dalam posisi ‘tersesat’ dalam perjalanan pulang. “Shallaahh???” tanya petugas itu. Saya mengangguk. Kemudian petugas itu memberikan kartu identitas saya dan membiarkan saya pergi ke masjid sambil gedeg gedeg (geleng geleng kepala). Mungkin dalam hati ia berkata: “Wong lagi tersesat kok sempat sempatnya sholat”, begitu mungkin pikirnya. Tapi saya tak menggubris dan terus meninggalkan petugas itu menuju Masjidil Haram. Tapi ditengah perjalanan terdengan Qomat, jadi terpaksa aku ikut orang orang sholat di tengah jalan.
Selesai sholat, aku tetap meneruskan perjalanan ke Masjidil Haram untuk menunggu menunaikan ibadah sholat magrib, padahal saya masih dalam kondisi tersesat dan terpisah dari rombongan. Sesampai di Masjidil Haram, saya menungguk sholat magrib dan isya, barulah saya mencoba mencari jalan pulang kembali ke maktab. Saya masih berpakaian ihrom waktu itu. Bisa anda bayangkan panasnya. Saya keluarkan kompas dan peta saya, kemudian dengan hati hati saya menentukan arah jalan pulang ke maktab.
Saya sampai di maktab sekitar jam sepuluh malam, baru saya sampai di maktab. Alhamdulilah saya bisa pulang sendiri ke maktab. Dari cerita saya tadi, mungkin bisa dipetik pelajaran. Bahwa kalau kita tersesat disini atau mungkin didaerah lain, hendaknya kita tetap eling, dan jangan panik. Sebab rasa panik kadang kadang membuat pikiran kita tak bisa berpikir jernih. Sampai sampai kita lupa kalau kita mebawa kompas sendiri. Tetep eling dan waspada.
Demikian pembaca sekelumit kisah saya. Mudah mudahan bisa dipetik sedikit pelajaran dari cerita saya tadi. Wassalam..
---
